Tabayyun dalam Perspektif Ki Hadjar Dewantara, Menyaring Informasi dengan Jiwa Pendidikan Bangsa

 

Tabayyun dalam Perspektif Ki Hadjar Dewantara, Menyaring Informasi dengan Jiwa Pendidikan Bangsa


Uncredited - "Pelita dimalam Gelap" Kedaulatan Rakyat. 2 February 1947. Page 1


Arrahimedia.or.id - Tabayyun sebagai metode klarifikasi dalam Islam memiliki relevansi besar dalam dunia pendidikan yang diperjuangkan Ki Hadjar Dewantara.


Dalam kehidupan modern yang dipenuhi arus informasi cepat dan tidak terverifikasi, semangat tabayyun kembali relevan untuk menjaga akurasi dan kebijaksanaan.


Ki Hadjar Dewantara, sebagai pelopor pendidikan nasional, mengajarkan prinsip-prinsip serupa dalam bentuk pemikiran kritis dan kemandirian intelektual.


Makna tabayyun, yang berasal dari bahasa Arab dan berarti meneliti atau mencari kebenaran, bukan hanya bagian dari ajaran Islam, tetapi juga nilai universal dalam berpikir bijak.


Di tengah derasnya penyebaran berita, fitnah, dan ujaran kebencian di berbagai platform, semangat tabayyun menawarkan pendekatan etis dalam menyikapi informasi.


Dalam Surah al-Hujurat ayat 6, prinsip tabayyun ditegaskan sebagai sikap preventif agar umat tidak terjerumus dalam keputusan keliru akibat informasi sesat.


Nilai ini sejatinya sejalan dengan prinsip Ki Hadjar Dewantara yang mendorong peserta didik untuk tidak sekadar menerima, tetapi juga memahami dan mengolah informasi secara utuh.


Pemikiran Ki Hadjar Dewantara yang dituangkan dalam semboyan “Tut Wuri Handayani” juga mencerminkan etika mendidik yang selaras dengan semangat tabayyun.


Beliau mengajarkan bahwa seorang pendidik harus mampu membimbing dari belakang dengan memberi dorongan, bukan paksaan, yang menuntut adanya proses berpikir mandiri.


Sikap untuk “meneliti dan memahami” yang terkandung dalam tabayyun dapat dianggap sebagai perpanjangan dari ajaran Ki Hadjar dalam membentuk manusia merdeka secara pikiran.


Sebagai tokoh pendidikan, Ki Hadjar tidak hanya berkutat pada sistem pembelajaran, tetapi juga pada pembentukan karakter masyarakat yang tangguh secara etis dan intelektual.


Saat menjadi kolumnis aktif pada masa penjajahan Belanda, beliau menampilkan keberanian intelektual untuk menyuarakan kebenaran, dengan tetap menjunjung kesantunan berpikir.


Tulisan legendarisnya "Als ik een Nederlander was" merupakan contoh penerapan tabayyun dalam praktik jurnalistik, di mana kritik dilandasi data dan refleksi mendalam.


Tindakan ini menggambarkan keberanian mengungkap fakta yang sebenarnya, tanpa terjebak dalam provokasi atau kepentingan sesaat.


Dalam dunia pendidikan yang beliau bangun, terutama di lingkungan Perguruan Taman Siswa, proses dialog, klarifikasi, dan diskusi menjadi budaya pembelajaran utama.


Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara adalah medan untuk mengasah ketelitian berpikir dan mempertajam empati sosial.


Sejalan dengan itu, tabayyun mengajak manusia untuk tidak terburu-buru dalam bersimpulan, melainkan mendahulukan konfirmasi atas informasi yang diterima.


Di tengah zaman digital, di mana hoaks dapat tersebar dalam hitungan detik, kolaborasi nilai tabayyun dan filosofi pendidikan Ki Hadjar menjadi formula penting untuk generasi muda.


Keduanya menanamkan nilai kehati-hatian, refleksi diri, dan kedalaman berpikir sebagai tameng menghadapi disinformasi yang berpotensi merusak tatanan sosial.


Tabayyun bukan hanya praktik keagamaan, tetapi bisa menjadi pendekatan universal dalam mendidik masyarakat agar lebih bijak, jernih, dan toleran dalam menyikapi perbedaan.


Ki Hadjar Dewantara sendiri hidup di masa penuh propaganda kolonial, namun beliau tetap memilih jalur pendidikan sebagai medium transformasi sosial yang damai.


Dengan demikian, tabayyun dan prinsip Ki Hadjar sama-sama menolak pendekatan instan dan reaktif dalam menyelesaikan persoalan.


Dalam sejarah pengasingannya ke Belanda, beliau tetap teguh pada idealisme, memanfaatkan masa tersebut untuk mendalami teori pendidikan modern.


Langkah ini mencerminkan bagaimana ketelitian dan pembelajaran menjadi respons utama terhadap tekanan, bukan emosi atau perlawanan brutal.


Jika pada masa lalu Ki Hadjar menjawab ketidakadilan dengan gagasan cerdas dan sistem pendidikan, maka kini kita bisa menjawab arus informasi sesat dengan semangat tabayyun.


Pendidikan yang berlandaskan pada klarifikasi dan penyelidikan seperti ini akan membentuk warga negara yang tidak mudah terprovokasi dan berpihak pada kebenaran.


Penerapan tabayyun dalam sistem pendidikan juga dapat mendorong terciptanya iklim akademik yang sehat, kritis, dan konstruktif di tengah masyarakat.


Menggabungkan nilai-nilai keislaman dan nasionalisme melalui konsep ini adalah bentuk kontribusi nyata terhadap stabilitas sosial yang berkelanjutan.


Dengan memperkuat tradisi tabayyun di ruang publik maupun pendidikan, warisan Ki Hadjar Dewantara tidak hanya hidup sebagai sejarah, melainkan menjadi pedoman kekinian.


Maka, relevansi tabayyun dalam dunia pendidikan Indonesia hari ini tidak lagi sekadar wacana, tetapi keharusan moral dan kebudayaan.


Ki Hadjar Dewantara, dalam semangatnya membentuk manusia merdeka, sejatinya telah lebih dahulu menanamkan prinsip tabayyun sebagai cara hidup.


Sebagai bangsa yang menjunjung kearifan lokal dan nilai-nilai spiritual, Indonesia perlu merawat semangat ini untuk membangun masyarakat yang beradab dan bijaksana.***