Fatwa Haram Rokok oleh Darul Ifta’ Mesir, Perspektif Hukum dan Implikasinya
Rokok dilarang oleh Darul Ifta’ Mesir sejak 1999. |
Arrahimedia.or.id - Fatwa haram rokok yang dikeluarkan oleh Darul Ifta’ Mesir (DIM) memicu diskusi luas di berbagai kalangan umat Muslim.
Fatwa ini menyebutkan bahwa merokok tidak hanya merugikan pelaku, tetapi juga orang lain yang terkena dampaknya.
Dalam Al-Qur'an, tindakan yang membahayakan diri sendiri dilarang tegas melalui ayat-ayat yang menyerukan penjagaan terhadap kehidupan.
Fatwa tersebut juga menyoroti aspek pemborosan (israf dan tabzir) yang dikaitkan dengan kebiasaan merokok.
Merokok dianggap sebagai tindakan yang mendatangkan mudarat, baik dari segi kesehatan maupun moral.
Dalam fatwa tersebut disebutkan, "Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah Maha Penyayang kepadamu."
Ayat lain yang sering dijadikan dasar adalah, "Janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan."
Pernyataan ini tidak hanya menjadi landasan hukum, tetapi juga mengajak umat untuk merefleksikan dampak negatif merokok.
Fatwa tersebut memunculkan berbagai reaksi dari masyarakat.
Bagi sebagian orang yang memiliki keimanan kuat, fatwa ini menjadi pedoman untuk meninggalkan kebiasaan merokok.
Mereka percaya bahwa ulama telah memberikan panduan hukum yang mendekati kehendak Allah.
Namun, ada juga yang melihat fatwa ini melalui pendekatan rasional.
Kelompok ini mempertimbangkan apakah larangan tersebut bersifat mutlak atau tergantung pada konteks tertentu.
Sebagian dari mereka memilih untuk mengevaluasi dampak rokok terhadap diri sendiri dan lingkungan sebelum mengambil keputusan.
Di sisi lain, ada individu yang mengabaikan fatwa ini, terutama mereka yang sudah terbiasa merokok.
Mereka cenderung mencari pembenaran untuk tetap melanjutkan kebiasaan tersebut.
Fatwa sebenarnya adalah panduan hukum yang tidak bersifat mengikat.
Hal ini mirip dengan resep dokter, di mana pasien memiliki kebebasan untuk mengikuti atau mengabaikannya.
Bagi orang yang merasa belum puas dengan jawaban dari satu ulama, mereka diperbolehkan mencari pandangan lain.
Imam Ibnul Qayyim dalam kitabnya "I'lam Al-Muwaqqin" menyebutkan bahwa seseorang tidak wajib mengikuti fatwa tanpa keyakinan penuh.
Selama tidak ada dalil pasti yang mengatur suatu persoalan, maka hal tersebut masuk dalam wilayah ijtihad.
Perbedaan pendapat dalam masalah seperti ini dianggap wajar dan tidak perlu menjadi sumber konflik.
Dalam fikih, hukum merokok memiliki tiga pandangan yang berbeda.
Sebagian ulama mengharamkan rokok karena dianggap membawa mudarat besar, baik fisik maupun moral.
Ulama yang memakruhkan rokok beralasan bahwa kebiasaan ini hanya menurunkan martabat seseorang dan menyebabkan bau mulut.
Sementara itu, ulama yang membolehkan rokok berpendapat bahwa tidak ada dalil yang secara eksplisit melarangnya.
Mereka yang membolehkan rokok mendasarkan pendapatnya pada kaidah bahwa hukum asal segala sesuatu adalah mubah.
Meski demikian, fatwa haram rokok oleh DIM memiliki dasar yang kuat, termasuk pertimbangan medis.
Dr. Nasr Farid Wasil, Mufti Darul Ifta’ Mesir, mengeluarkan fatwa ini pada tahun 1999.
Fatwa tersebut didukung oleh fakta medis tentang bahaya rokok bagi kesehatan.
Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya disepakati oleh semua ulama.
Dr. Tantawi, mantan Syekh Al-Azhar, pernah menyatakan bahwa hukum rokok adalah makruh.
Pandangan yang berbeda ini menunjukkan bahwa hukum merokok masih menjadi perdebatan dalam Islam.
Sebagian ulama menekankan bahwa umat Islam seharusnya menjauhi hal-hal yang membawa lebih banyak mudarat daripada manfaat.
Peringatan tertulis pada kemasan rokok juga menjadi bukti bahwa kebiasaan ini berdampak negatif.
Fatwa haram rokok tidak hanya bersifat normatif, tetapi juga mengedukasi masyarakat tentang pentingnya menjaga kesehatan.
Kesimpulannya, sikap terhadap fatwa ini sangat bergantung pada perspektif masing-masing individu.
Bagi mereka yang mendengarkan dan merenungkan, fatwa ini bisa menjadi pijakan untuk kehidupan yang lebih baik.***